Nelayan Lamalera sedang
Penangkapan
Paus Sebagai Ekspresi Hubungan Manusia Dengan Laut
I.
PENDAHULUAN
Kearifan
lokal dalam beberapa dasawarsa terakhir ini mendapatkan perhatian besar dari
berbagai kalangan terutama lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan pemerhati
lingkungan. Beberapa pemerintah daerah pun mulai menggali kearifan lokal yang
dimiliki daerahnya. Ketertarikan ini disebabkan karena semakin dominannya
dampak dari modernisasi yang melahirkan konsekuensi-konsekuensi yang merugikan.
Konsekuensi dari eksploitasi sumber daya alam yang tak terkendali akan
mengakibatkan degradasi lingkungan hidup, tidak terkecuali lingkungan laut.
Arus
modernisasi dan globalisasi yang melanda setiap daerah sampai ke pelosok-pelosok
negeri, menjadikan pembuat kebijakan dan para pemerhati lingkungan mencoba
berbagai cara meminimalisasi kemungkinan dampak yang muncul. Salah satu harapan
tertumpu pada kearifan-kearifan terhadap lingkungan yang dimiliki oleh
masing-masing daerah.
Kearifan
lokal diharapkan dapat mengatasi ancaman degradasi lingkungan karena kearifan
lokal merupakan dimensi budaya dan sosial yang lahir dalam kehidupan
bermasyarakat yang telah berlangsung secara turun temurun. Kearifan lokal dapat
menjelma dalam berbagai bentuk seperti ide, gagasan, nilai, norma dan peraturan
dalam ranah kebudayaan, sedangkan dalam kehidupan sosial dapat berupa sistem
religius, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata
pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat, 1964).
Identifikasi
kearifan lokal masyarakat nelayan harus lebih difokuskan kepada permasalahan
yang menyangkut isu global dan sekaligus mempunyai pengaruh yang cukup besar
bagi keberlangsungan hidup masyarakat local (Coremap, 2005). Salah satu contoh
kearifan lokal yang berkaitan dengan dua hal tersebut adalah prosesi
penangkapan paus yang dilakukan oleh masyarakat Lamalera. Di satu sisi paus
merupakan mamalia yang termasuk dalam daftar hewan yang dilindungi karena
jumlahnya yang semakin menyusut. Namun di lain pihak, paus bagi masyarakat
Lamalera merupakan sumber kehidupan utama. Hans (2008) mengatakan bahwa
masyarakat Lamalera menyadari bahwa tanpa ikan paus mereka tidak bisa hidup.
Karena merupakan sumber kehidupan inilah, maka dengan kerifan lokal yang telah
ada sejak ratusan tahun, mereka berusaha melestarikan paus dengan menjaga
keseimbangan ekosistem laut dan peisisir.
Penggambaran
kehidupan nelayan Lamalera yang sarat akan sejumlah kearifan lokal membawa
pesan bagi masyarakat lain dalam rangka menyelesaikan permasalahan-permasalahan
lingkungan di daerahnya, sehingga generasi mendatang akan menerima warisan alam
dengan kondisi yang semestinya mereka terima.
II.
PEMBAHASAN
a.
PERILAKU
MANUSIA DAN KEARIFAN LOKAL
Psikologi
lingkungan merupakan bagian bari ilmu psikologi yang mempelajari hubungan
antara manusia dengan lingkungannya. Lebih jelas Veitch dan Arkkelin (1995)
mendefinisikan Psikologi Lingkungan sebagai a
behavioral science that investigates, with an eye toward enhancing, the
interrelationships between the physical environment and human behavior.
Pengertian senada disampaikan oleh
Holahan (1982), bahwa psikologi lingkungan adalah bidang psikologi yang
meneliti hubungan timbal balik antara lingkungan fisik dengan tingkah laku dan
pengalaman manusia. Kedua
pengertian
tersebut memposisikan prilaku manusia dan kondisi lingkungan sebagai sentral
dalam pembahasan permasalahan lingkungan.
Perilaku
manusia sebagaimana dikemukakan dalam Gestalt disebabkan oleh proses-proses
persepsi, sehingga mempelajari proses persepsi dan kognisi manusia menurutnya
lebih penting daripada mempelajari prilaku yang tampak (overt behaviour). Sementara itu teori medan dari Kurt Lewin
merupakan teori yang menerangkan hubungan manusia dengan alam. Lewin
mengemukakan formula B = f(E,O), bahwa perilaku manusia merupakan fungsi dari
lingkungan dan organisme. Teori ekologi ini mempunyai asumsi dasar yaitu a)
prilaku manuisa terkait dengan koteks lingkungan, b) interaksi timbal balik
yang menguntungkan antara manusia dengan lingkungan, c) interaksi
manusia-lingkungan bersifat dinamis, dan d) interaksi manusia – lingkungan
terjadi dalam beberapa level dan tergantung pada fungsi. Salah satu teori yang
didasarkan pada pandangan ekologis adalah behaviour
setting (seting perilaku).
Teori
behaviour setting mengandung premis
utama yaitu kesesuaian antara rancangan lingkungan dengan perilaku yang
diakomodasikan dalam lingkungan tersebut. Sehingga, dimungkinkan adanya
pola-pola perilaku yang telah tersusun yang dikaitkan dengan setting tempat.
Pada dasarnya pola-pola ini merupakan bagian dari proses adaptasi terhadap
setting yang ada. Teori ini lebih menekankan pada uniformitas atau perilaku
kolektif. Hubungan antara manusia-lingkungan lebih dijelaskan dari sisi sifat
atau karakteristik sosial seperti kebiasaan, aturan, aktifitas tipikal, dan
karakteristik fisik.
Dalam
konteks kehidupan sosial, maka teori ekologis ini merupakan pendekatan yang
dapat menerangkan munculnya kearifan lokal dari sudut pandang psikologi
lingkungan. Namun, teori-teori yang lain bermanfaat untuk menerangkan dinamika
psikis sosial masyarakat dalam menghadapi perubahan-perubahan lingkungan.
Menurut Barker (dalam Sarwono, 1992) tingkah laku tidak hanya ditentukan oleh
lingkungan, tetapi kedua hal tersebut saling menentukan dan tidak dapat
dipisahkan. Hubungan tingkah laku dan lingkungan ini seperti dua jalan atau
interdependensi ekologi. Pola adaptasi yang mengandung karakteristik sosial di
atas, akan membentuk kepribadian yang khas dari nelayan tersebut. Ketika pola
adaptasi ini dilakukan secara kolektif maka akan mencerminkan kepribadian
kolektif atau kepribadian masyarakat. Kepribadian ini kemudian disepakati dalam
bentuk norma-norma yang harus ditaati secara turun temurun membentuk sebuah
kearifan lokal. Dengan demikian, kearifan lokal merupakan produk dari hubungan
perilaku masyarakat terhadap alam dan sebaliknya hubungan alam terhadap
perilaku masyarakatnya. Berrdasarkan uraian tersebut, kearifan lokal terhadap
lingkungan memunculkan perilaku kolektif dari suatu komunitas dalam
berinteraksi dengan ekosistemnya agar keseimbangan ekosistem selalu terjaga.
Kearifan
lokal terhadap lingkungan merupakan norma-norma yang terkait dengan
pengetahuan, teknologi, kepercayaan dan kelembagaan yang dipraktekan oleh suatu
komunitas/masyarakat selama bertahun-tahun dalam mengelola sumberdaya alam yang
ada. Bentuk kearifan lokal yang dimiliki suatu daerah akan berbeda dengan
daerah lainnya sesuai dengan setting lingkungan yang mereka hadapi. Veitch dan
Arkkelin (1995) mengatakan bahwa dengan mengetahui setting tempat maka dapat
diprediksi perilaku atau aktivitas yang terjadi. Setting lingkungan yang
spesifik akan menyebabkan perbedaan pengetahuan seseorang dalam memaknai
pengaruh lingkungan terhadap kehidupannya.
Kearifan
lokal merupakan proses pemaknaan suatu komunitas terhadap lingkungannya.
Kearifan Lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijaksanaan
setempat (local wisdom) atau
pengetahuan setempat (local knowledge)
atau kecerdasan setempat (local genious),
merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan
yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab
berbagai masalah dalam memenuhi kebutuhan mereka. Kearifan lokal di berbagai
wilayah di Nusantara merupakan kekayaan budaya yang perlu diangkat ke permukaan
sebagai bentuk jati diri bangsa.
Pemaknaan
terhadap lingkungan ini erat kaitannya dengan perkembangan kognisi mereka
tentang lingkungan. Dengan kata lain, sejauhmana kearifan lokal ini dapat
bertahan sangat tergantung kepada sajauh mana mereka bisa mempertahankan
persepsi terhadap lingkungan yang sekarang ada dari terpaan arus modernisasi
dan globalisasi yang sering tidak berpihak terhadap lingkungan. Pembahasan
kearifan lingkungan yang terjadi di Lamalera memberikan pelajaran bagaimana
seharusnya kita menyikapi lingkungan dan bagaimana seharusnya menghadapi
tantangan yang mengancam keseserasian alam.
b.
KONDISI
GEOGRAFIS LAMALERA
Pembahasan
mengenai kondisi geografis perlu dilakukan dalam psikologi lingkungan.
Sebagaimana yang dikatakan Tonybee dalam Veitch dan Arkkelin, 1995 bahwa
lingkungan (atau secara labih spesifik topografi, iklim, vegetasi, ketersediaan
air, dan sebagainya) adalah tantangan bagi penduduk yang tinggal di daerah
tersebut. Tantangan lingkungan yang ekstrim akan merusak peradaban, sementara
tantangan yang terlalu kecil akan mengakibatan stagnsi kebudayaan. Jadi setting
geografis lingkungan akan memberi kesempatan mayarakat penghuninya untuk
membuat perdaban guna memenuhi kebutuhan dan upaya mempertahankan diri.
Lamalera
merupakan sebuah kampung yang terletak di Kabupaten Lembata Nusa Tenggara Timur
(NTT). Secara terminologi kata ”Lamalera” menurut bahasa Lamaholot yaitu bahasa
daerah di kawasan Flores Timur, berasal dari kata lama berarti piringan atau cakram dan lera berarti matahari, sehingga Lamalera
berarti pinggiran/cakram matahari (Haryadi, 2007). Haryadi pun mengungkapkan
bahwa dari tiga puluh jenis cetacean (nama kolektif paus dan lumba-lumba di
Indonesia, empat belas diantaranya bermigrasi melewati Sawu. Penduduk Lamalera
terkenal di seluruh dunia sebagai pemburu paus (koteklema) yang unik, karena berburu hanya dengan menggunakan
peralatan yang serba tradisional. Tidak hanya peralatannya saja yang spesifik,
namun norma-norma yang dilakukan menjelang perburuan, pada saat perburuan dan
setelah memperoleh hasil buruan sangat unik. Berikut ini merupakan gambaran
kearifan lokal masyarakat Lamalera terhadap lingkungan serta pemaknaannya dalam
kacamata psikologi lingkungan.
c.
KEARIFAN
LOKAL: Ekspresi Nelayan terhadap Ekosistem Laut
Masyarakat
Lamalera merupakan masyarakat yang memandang laut dan darat mempunyai hubungan
pengaruh mempengaruhi secara timbal balik. Hal ini senada dengan yang dikatakan
Barker dalam Sarwono (2005) bahwa perilaku dan lingkungan merupakan dua hal
yang saling menentukan dan tidak dapat dipisahkan. Apa yang dilakukan seseorang
di darat akan mempengaruhi apa yang akan terjadi di laut, begitu pun
sebaliknya. Pengetahuan mereka terhadap hubungan laut dan alam memunculkan
persepsi bahwa prilaku yang sesuai dengan norma yang dianut harus selalu
dilakukan agar ekosistem selalu stabil dan dapat dimanfatkan secara
berkelanjutan. Keyakinan ini pula yang menjadikan prosesi penangkapan paus yang
merupakan mata pencaharian utama di Lamalera mengandung nilai dan norma yang
khas.
Masyarakat
Lamalera merupakan masyarakat dengan tradisi yang dipengaruhi oleh ajaran
Katolik. Hal ini dimungkinkan karena daerah Lamalera termasuk salahsatu daerah
penyebaran Katolik pertama di Indonesia yang dibawa oleh bangsa Portugis pada
abad ke 16 Masehi. Haryadi (2007) mengungkapkan bahwa masyarakat melakukan
berbagai ritual yang berkaitan dengan penangkapan paus, diantaranya adalah
perayaan misa arwah yang dilaksanakan di pantai depan Kapel Santo Petrus yang
dipimpin oleh seorang Pastor. Misa dilanjutkan keesokan harinya dengan misa lefa dan pemercikan air suci ke
perahu-perahu. Sedangkan upacara ceremoti
dihadiri oleh seluruh komponen kampung Lamalera untuk membicarakan seluruh
persoalan kampung terutama persoalan perburuan dengan berbagai tahapan yang
mesti dilaksanakan dalam perburuan itu.
Dalam
perspektif psikologi, agama mempunyai pengaruh yang besar dalam setiap perilaku
yang muncul. Seperti yang dikatakan oleh Sarlito (2005) bahwa agama hampir
selalu merupakan acuan utama dalam hampir setiap perilaku, baik individual
maupun kelompok dalam setiap satuan etnik, budaya, kelompok, keluarga dan
sebagainya. Dasar pengetahuan agama merupakan spirit yang cukup besar dalam menjaga
keberlangsungan karifan-kearifan lokal, dan sering kali pengetahuan agama pula
yang memungkinkan munculnya kearifan. Pemaknaan lingkungan yang kaya akan
nilai-nilai keterikatan dengan alam ditunjukkan dalam prosesi penangkapan paus.
Penangkapan paus oleh nelayan Lamalera dilakukan dengan menggunakan peralatan
yang sederhana yaitu layar, tali (yang terbuat dari benang kapas, daun gebang
dan serat kulit waru), pancing, tempuling atau harpun, peledang (perahu) dari kayu, sampan, galah tempat
menamcapkan harpun untuk menombak, alat untuk menggayung air, gentong air, dan
faje (alat untuk mendayung) (JPIC OFM, 2008; Hardianto, 2008: Hans, 2008). Hal
ini sangat berbeda sekali dengan yang dilakukan oleh Jepang, dimana mereka
menggunakan peralatan yang merusak lingkungan. Penangkapan paus ini pun
bertujuan hanya untuk konsumsi bukan untuk keperluan niaga yang bertujuan
mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya.
Selain
teknik penangkapan, masyarakat pun mengatur jenis dan kondisi paus yang dapat
ditangkap yaitu paus sperm yang dalam kondisi tidak hamil. Paus biru yang
dilindungi bukan menjadi sasaran mereka. Berdasarkan mitologi yang mereka
yakini secara turun temurun, paus biru pernah berjasa menolong orang Lamalera
yang mengalami kecelakaan di laut. Oleh karenanya, paus biru harus dihormati
dan tidak boleh ditangkap.
Kasus
diatas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap lingkungan sangat
dipengaruhi oleh setting di masa lalu. Seberapa lama persepsi itu dapat
bertahan dalam sebuah komunitas sangat tergantung pada bagaimana upaya
menurunkan pengetahuan lingkungan tersebut kepada generasi selanjutnya, selain
itu sangat tergantung pada sejauhmana persepsi itu dapat mengelaborasi novel environment sebagai akibat dari
intervensi modernisasi.
Masyarakat
Lamalera tidak hanya mempunyai kearifan terhadap sumber daya alam, namun mereka
juga mempunyai kearifan yang sangat mulia terhadap sesamanya. Mereka
menempatkan para janda, fakir miskin dan anak yatim piatu pada posisi utama
dalam pembagian hasil laut. Hal ini menunjukkan tingginya naluri prososial yang
dimiliki oleh masyarakat Lamalera. Haryadi (2007) mengatakan bahwa tubuh
koteklema itu sudah mempunyai peta khusus untuk pembagian, misalnya selain
daging dan lemaknya, para pemilik kapal berhak mendapatkan bagian dari jantung,
sayatan bagian ekor juga diberikan kepada matros
yang ikut membunuh paus. Semua warga mengetahui bagian
mana
yang sudah menjadi haknya, dan hak itu diatur berdasarkan perannya dalam
perburuan paus tersebut serta perannya dalam hubungan sosial.
Kesahajaan
sangat tercermin dalam mekanisme pasar yang dilakukan oleh masyarakat Lamalera.
Mereka masih mempertahankan sistem barter dalam memperoleh barang kebutuhan.
Brotoseno (2010) mengatakan bahwa di atas pegunungan ada desa yang dinamakan (Wulandoni), yang setiap hari Sabtu
sering dilakukan pasar barter. Banyak pendatang membawa barang seperti jagung,
pisang sampai bahan bahan kebutuhan rumah tangga yang ditukarkan dengan daging
paus. Beberapa nelayan mungkin menjalani sistem ini secara implisit, artinya barter
hanyalah bagian dari aktivitas yang telah dilakukan secara turun temurun, namun
jika dicermati lebih eksplisit terlihat bahwa melalui sistem barter masyarakat
Lamalera terjaga dari dampak negatif pertarungan ekonomi global yang sangat
ditentukan oleh naik turunnya nilai tukar mata uang. Sistem barter mengandung
nilai-nilai yang sangat arif yang ingin di jaga oleh masyarakat Lamalera.
d.
ANCAMAN
TERHADAP KEARIFAN LOKAL: Persepsi dan Stress Lingkungan
Psikologi
lingkungan mendefinisikan persepsi sebagai proses pengamatan individu terhadap
lingkungannya yang diolah secara kognitif. Dalam kasus ini, persepsi masyarakat
Lamalera adalah proses pengamatan yang dilakukan masyarakat terhadap
lingkungannya. Veitch dan Arkkelin (1995) mengatakan bahwa persepsi merupakan
basis rujukan sikap dan tingkah laku. Sementara itu Bell dalam Sarwono (1992) menggambarkan proses terbentuknya persepsi
yaitu dimulai dengan proses mempresepsikan objek fisik sebagai sumber stimulus
oleh individu. Pada batas optimal maka persepsi tersebut akan berakhir pada
kondisi homeostatis. Sebaliknya, pada kondisi diluar batas yang terjadi adalah
stress yang memerlukan koping untuk mengatasinya, jika berhasil akan terbentuk
adaptasi dan menghasilkan efek lanjutan. Sementara itu koping yang tidak
berhasil akan berdampak pada stress yang terus berlanjut dan menimbulkan efek
lanjutan yang lain. Koping yang berhasil akan menghasilkan dua bentuk
penyesuaian, yaitu penyesuaian individu dengan lingkungannya (adaptasi) atau
penyesuaian lingkungan pada diri individu (adjustment).
Daerah
Lembata merupakan daerah yang banyak menyimpan emas. Potensi ini sudah disadari
oleh masyarakat setempat sejak ratusan tahun yang lalu, namun bagi mereka emas
yang ada di perut bumi merupakan warisan dari leluhur yang harus dijaga dan
dipertahankan. Keseimbangan ekosistem Lamalera kemudian diintervensi oleh
munculnya ijin dari Pemerintahan Kabupaten Lembata kepada PT Merukh untuk
melakukan tambang emas di daerah Lembata pada tahun 2005. Setiap proses
penambangan tentu akan menguras lahan dan sumber air. Hal ini sangat merugikan Lembata, karena Lembata tergolong
daerah kering dan gersang dan air merupakan pembatas utama keselamatan warga
lembata. Sehingga izin ini sangat mengancam keselamatan masyarakat lembata
(Jatam, 2008).
Pemerintah
Kabupaten Lembata tetap pada pendiriannya untuk meneruskan rencana penambangan
dengan mengadakan sosialisasi yang lebih mendalam tentang keuntungan yang akan
didapat dari penambangan emas ini. Hal ini menimbulkan berbagai macam tekanan
baik tekanan terhadap ancaman terganggunya keseimbangan ekosistem juga tekanan
terhadap psikis masyarakat Lamalera.
Dalam
kasus Lembata, izin penambangan emas merupakan stressor, ia merupakan stimulus yang mengancam kesejahteraan
masyarakat Lamakera. Adanya stimulus ini mendorong masyarakat Lamalera untuk
memikirkan dan mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi yang akan diterima jika
menolak atau sepakat dengan perijinan tersebut.
Penolakan
terhadap ijin penambangan tersebut, bukan karena alasan tidak pahamnya mereka
terhadap nilai yang terkandung dalam emas tersebut yang dapat meningkatkan
kesejahteraan, namun persepsi ”kesejahteraan” antara pemerintah dengan
masyarakat Lamalera sangat berbeda. Kesejahteaan bagi masyarakat Lamalera
bukanlah dinilai dari tingginya penghasilan, bagi mereka ’sejahtera’ adalah
hidup selaras dengan alam dan dapat memberikan alam sebagai warisan kepada
generasi mendatang dalam bentuk yang seharusnya mereka terima.
Intervensi
yang dilakukan Pemerintah Kabupaten dengan memberikan izin kepada PT Merukh
terhadap lingkungan Lamalera sudah mengakibatkan stress mental yang luar biasa
bagi masyarakat Lamalera. Agar tidak terjadi proses penambangan maka masyarakat
Lamalera mengadakan koping dengan mengadakan penolakan melalui surat penyataan
bersama yang disampaikan kepada Pemda setempat, aksi-aksi yang melibatkan
massa, ritual dan sumpah adat serta penyampaian alternatif cara pemberdayaan
yang dapat dilakukan pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat Lamalera.
Ditinjau
dari perspektif psikologi lingkungan, penolakan terhadap penambangan emas yang
dilakukan oleh masyarakat Lamalera lebih didasari oleh persepsi mereka terhadap
bumi dan laut serta kandungan di dalamnya. Bumi dan laut bagi mereka merupakan
pengikat antara mereka dengan leluhur. Penjagaan ini merupakan wujud
penghormatan mereka terhadap leluhur. Pengrusakan terhadap bumi dan laut akan
menyebabkan kemarahan leluhur dan terputusnya ikatan dengan leluhur (Jatam,
2008). Selain itu, tercemarnya laut akibat penambangan akan menyebabkan
hilangnya paus dari perairan Lamalera. Paus merupakan hewan yang sensitif,
mereka akan meninggalkan laut yang tercemar untuk bermigrasi mencari tempat
yang baru. Persepsi inilah kemudian melahirkan berbagai kearifan lokal
diantaranya adalah penolakan terhadap rencana tambang emas tersebut. Karena
dengan tindakan itu, masyarakat Lamalera berusaha menjaga ikatan yang serasi
antara manusia dengan alam agar terjadi kelestarian dan keserasian yang akan
mendatangkan kedamaian dan kecukupan pangan.
III. KESIMPULAN
Mayoritas
penduduk Lamalera menggantungkan hidupnya dari hasil laut terutama paus,
sehingga pengetahuan mereka tentang lingkungan selalu berhubungan dengan laut
dan paus. Pengetahuan tersebut memunculkan persepsi tersendiri terhadap alam,
yang kemudian membuat perilaku yang khas dari masyarakat Lamalera dalam
berinteraksi dengan alam. Pola perilaku yang bersifat lokalitas ini menumbuhkan
kearifan tradisional yang spesifik. Kearifan masyarakat Lamalera memberikan
kontribusi yang besar dalam menjaga keberlanjutan sumber daya alam. Penolakan
masyarakat terhadap aktifitas penambangan merupakan bentuk kearifan dalam
mempertahankan keseimbangan ekosistem demi keberlanjutan kehidupan dimasa yang
akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Brotoseno,
I. 2010. Lamalera. http://dunialaut.
com/?p=574. Diakses pada tanggal 11 Juli 2011.
COREMAP
II. 2005. Kajian Kearifan Lokal
masyarakat di Desa Sabang Mawang, Sededap
dan Pulau Tiga Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna, Propinsi Kepulauan
Riau. Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Jakarta.
Buletin Riset Sosek Kelautan dan
Perikanan Vol. 6 No. 2, 2011
Hans.
2008. Penangkapan Paus di Lamalera
Perhatikan Aspek Konservasi. http://www.nttonlinenews. com/ Diakses pada tanggal 6 Februari
2009.
Haryadi, R. 2007. Cakram Matahari Memburu
Kotekelema. Gatra Nomor 28. Jakarta.
Holahan C.J. 1982. Environmental Psychology. New York:
Random House.
JATAM. 2008.
Membangun Lembata Tanpa Tambang Emas.
http://www.jatam.org/content/ view/393/1/.
Diakses pada tanggal 6 Februari 2009.
______________.
2008. Membaca Penolakan Warga Atas Rencana Penambangan Emas di Kabupaten
Lembata NTT Sebagai Wujud Akal Sehat Rakyat dalam Membela Kehidupan dan
Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten Lembata Oleh: Justice, Peace, and
Integrity of CreationOrdo Fratrum Minorum (JPIC-OFM) Indonesia.
http://www.scribd.com/doc/52753119/Alasan-Merusak-Lingkungan. Diakses Pada
tanggal 11 Juli 2011.
Koentjaraningrat.
1964. Masyarakat Desa Masa Kini. Balai
Penerbitan Fakultas Ekonomi UI, Jakarta.
Prasetio,
B. 2008. Perburuan Paus di Lamalera: Simbol Keseimbangan Masyarakat Tradisional
dengan alam.http://www.nttonlinenews.com/ntt/ index.php?view=article&id.
Diakses pada tanggal 11 Juli 2011.